Pada saat ini pemakaian bahasa Bagongan sudah semakin berkurang, bahkan nyaris punah. Pemakainya pun hanya dari golongan tua saja yang mengenal adanya jenis bahasa tersebut.
Penggunaan
Bahasa Bagongan digunakan oleh para pejabat istana, atau yang biasa disebut sentana dalem untuk bercakap-cakap satu sama lain. Tidak seperti bahasa Jawa pada umumnya, bahasa ini relatif kurang mementingkan hierarki sehingga terkesan lebih fleksibel.Misalnya, apabila dalam bahasa Jawa biasa, seseorang yang lebih muda akan menyebut dirinya dengan kata ganti kula, sedangkan yang lebih tua menyebut dirinya dengan kata ganti aku. Namun dalam bahasa Bagongan, baik yang muda ataupun yang tua jika bercakap-cakap sama-sama menyebut dirinya dengan kata ganti manira.
Tujuan Sultan Agung menetapkan penggunaan bahasa Bagongan ialah untuk menciptakan persatuan di antara pejabat istana dengan menghilangkan kesenjangan yang timbul jika mereka menggunakan bahasa Jawa biasa. Namun bahasa Bagongan ini hanya berlaku apabila seorang sentana berbicara kepada sesama sentana. Apabila berbicara kepada raja, maka ia harus menggunakan bahasa Jawa umum, tentu saja dari jenis yang paling halus, yaitu bahasa krama inggil.
Ciri Bahasa
Bahasa Bagongan hanya terdiri atas sebelas kata utama. Sedangkan selain kata-kata tersebut digunakan kata-kata dalam bahasa Jawa umum, terutama dari jenis krama inggil. Sebelas kata tersebut antara lain:- saya: manira
- anda: pakenira
- ya: enggeh
- tidak: mboya
- bukan: seyos
- saja: mbesaos
- ini: puniki
- itu: puniku
- apa: punapi
- ada: wenten
- mari: nedha
- bahasa Indonesia: Saya pilih itu saja.
- bahasa Jawa ngoko: Aku pilih kuwi wae.
- bahasa Jawa krama: Kula pilih punika kemawon.
- bahasa Jawa bagongan: Manira pilih puniku mbesaos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar